by: Nami.N
Di
langit sana, ada banyak galaksi dan berkumpul gugusan bintang.
Bermacam-macam rasi bintang dengan cahanya, menemani hidup manusia di
bumi ini. Kilauan cahaya bintang terpantul hingga ke bumi. Ada legenda
yang mengatakan, kalau cahaya bintang, terbentuk dari harapan-harapan
dan doa manusia. Semakin kuat pancaran cahaya suatu bintang, maka
semakin kuat harapan manusia tersebut.
Malam ini, aku duduk di balkon atas. Sambil menengadah ke angkasa. Melihat kepingan bintang yang bersinar- sinar, menghiasi jubah gelap sang langit malam. Hatiku seperti di tusuk oleh pisau. Tersayat- sayat dan membuatku kehilangan kata. Saat memandang kilauan bintang, aku teringat padamu, Kak Genki. Kau yang ku anggap kakak dan menemaniku sejak kecil, kini telah pergi ke bintang.
Dulu, kau selalu mengajakku ke lapangan. Dan mengajari aku tentang nama bintang- bintang. Aku tak lupa peta langit yang kau gambarkan. Aku masih menyimpannya. Kau menceritakan padaku, kalau di luar sana, ada galaksi lain selain galaksi bima sakti. Ada kehidupan seperti kita di bumi. Pada saat itulah aku baru tahu tentang kehidupan di luar galaksi sana.
Kau tak pernah menyadari, kalau tubuhmu telah di huni leukimia. Aku masih ingat, sehari sebelum kau masuk emergency. Kau masih sempat mengantarku membeli gaun, untuk acara ulang tahun temanku. Kita masih sempat tertawa, membeli ice cream di supermarket. Dan memberi makan ikan – ikan di kolam taman. Banyak kenangan bersamamu yang tak akan terganti.
Kau indah seperti bintang- bintang di langit sana. Andai waktu itu aku bisa mengatakan persaanku padamu. Pastilah dadaku tak sesesak ini. Aku ingin sekali memutar waktu. Kembali ke beberapa waktu yang lalu. Aku menyesal tak mengatakannya. Kata ibu, malam ini adalah peringatan seratus harimu. Dan di rumahmu di sebelah, puluhan orang berdoa untukmu. Aku memang tak kesana, agar aku tak sedih. Aku berdoa di sini untukmu.
***
“Srrt..”. Seberkas cahaya muncul dari langit tenggara. Cahaya menyilaukan kebiru- biruan bercampur merah. Melesat dengan cepat. Itu seperti sebuah komet. Kalau melihat lintasan geraknya, sepertinya ia akan turun di dekat sini.
“itu..” kataku.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas meninggalkan rumah, dan berlari mengikuti arah komet tadi. Di tengah derap langkahku, aku melihat benda itu jatuh di lapangan. Ada cahaya berwarna-warni berpendar hingga ke angkasa. Pantulannya cukup kuat, sehingga menyilaukan mataku. Kupercepat langkahku dan kukerahkan seluruh tenaga/. Aku tak peduli pada dinginnya angin malam. Jantungku berdegup kencang,. Tuhan, benda apa itu tadi. Perasaan apa ini, rasanya menggedor- gedor di balik dadaku.
***
Sepi dan sunyi senyap.
Aku terpaku di pinggir lapangan. Yang tertangkap oleh mataku hanya kegelapan pekat. Suara jangkrik yang berderit membuat suasana makin dramatis. Laron yang berterbangan di lampu neon, menumpang lewat di atas kepalaku. Apa aku tadi bermimpi. Tapi jelas- jelas tadi bukankah jatuh di sini. Aku terdiam di liputi perasaan keheranan. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam lapangan. Tiba- tiba saja, seperti ada tenaga besar menyedot aku.
“Kyaaa..” aku berteriak.
Tanah tempat aku berpijak kehilangan gaya gravitasinya. Badanku melayang- layang di udara. Kemudian, muncul spektrum cahaya yang membutakan mataku. Tubuhku tertelan oleh spektrum itu. Suasana pun berubah dalam hitungan detik.
Cahaya tadi memindahkan aku ketempat yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Entah di mana ini. Kepalaku masih sakit dan terasa sangat berat. Aku masih bingung di tambah shoc dengan kejadian tadi. Mataku masih berkunang- kunang. Lalu setelah kesadarnku pulih dan moodku membaik, mataku mulai merespon di mana aku.
***
Terkesiap, terlena, dan terkejut. Tiga kata yang bisa melukiskan perasaanku. Aku saat ini, berada di tengah- tengah alam semesta.Badanku melayang-layang dengan bebas. Aku tak percaya dengan apa yang kusaksikan.
Di bawah sana terlihat kumpulan bintang- bintang yang membentuk galaksi. Bumi terlihat olehku, seperti kelereng biru yang berputar-putar. Rasi-rasi bintang seperti di peta langit, kini terlihat jelas oleh mataku. Ada milky way seperti di buku dongeng, atau yang kusebut sungai amanogawa. Kisah tentang putri Orihime yang sering kubaca. Ia terlihat membentang di mataku mmebentuk gugusan sungai bintang yang indah.
Apa aku telah mati?. Sempat terlintas di benakku pertanyaan seperti itu.
“ Bagus, kan.”. Sebuah suara mengagetkan aku.
Aku menoleh melihat si pemilik suara.
Suaraku tertahan di tenggorokan. Ia melemparkan senyum yang manis. Ia adalah Kak Genki. Kak Genki yang aku sukai. Dan kematiannya membuat aku stress. Aku gemetaran karena ketakutan. Bukankah dia sudah mati, kenapa dia ada di sini. Itu pasti hantu.
“Ka..kakak..” kataku dengan suara gemetaran.
Ia terbang mendekat kepadaku.
Aku menjauh darinya.
“Pergilah, jangan ganggu aku,!” Teriakku.
“Tenaglah. Aku tak akan menyakitimu.”
“Kau..kenapa kau kembali?”
Kak Genki tersenyum dan memegang pundakku.
“Aku kembali karena aku merasa kau memanggilku.”
Aku terdiam. Memang benar apa yang ia katakan, aku merindukannya selama ini. Ia melemparkan senyum yang membuat dadaku terasa sesak.
“Kakak..” panggilku dengan lirih.
Mataku mulai terasa panas, oleh air mata yang menggenang di pelupuknya.
“Apa aku sudah mati?”
“Belum, sayang.”
Ia menarik tanganku dan mendekap aku ke dalam pelukannya. Pecahlah tangisku seketika. Tangannya yang hangat, yang kurindukan selama ini, membelai rambutku dengan lembut. Kerinduanku padanya tertumpah.
***
“Kakak, aku rindu padamu.”
“Iya, aku sekarang kembail.”
Ia menghapus air mata di pipiku. Bola matanya yang teduh, meredam rasa sakit dan kerinduan yang aku pendam. Bibirnya yang merah menyunggingkan segurat senyum, yang mampu menghapus kepedihanku.
“Kau hantu?” Tanyaku.
“Bukan. Aku berasal dari galaksi yang berbeda denganmu.”
“Kita di mana?”
“Di dalam pesawat luar angkasa.”
Jawaban Kak Genki membuat aku menelan air ludahku.
“Kau alien?”
“Apapun itu.”
Ia menarik tanganku dan mengajakku terbang lebih tinggi. Semakin ke atas, pemandangan semakin indah. Ia menagajakku ke lintasan milky way. Aku memang suka dengan milky way saat aku masih kecil.
“Cantik, kan.”
“Iya, kak.”
Genggaman tangan kakak semakin erat. Aku tak ingin melepaskan gandengan tangannya lagi. Aku ingin terus bersamanya seperti ini.
“Ini adalah simulasi jagad raya. Tidak semua pesawat ruang angkasa memiliki sarana seperti ini.”
“Kau datang dari galaksi mana?”
“Aku sering mendengar harapanmu yang tersampai melalui sinar bintang. Makanya aku datang kemari menemuimu.”
Aku masih terdiam.
Alien yang mengaku jelmaan Kak Genki itu, mengajakku terbang melihat rasi-rasi bintang. Corona, Vega, Cassiopeia semua terlihat dekat di mataku. Dulu, aku biasanya melihat mereka dari peta langit di kamarku. Aku merasa diriku adalah kilauan bintang. Kubiarkan diriku melebur menjadi satu dengan kilauan bintang di langit itu.
“Ayo, sudah.” . Dia mengajakku turun ke bawah.
“Mau kemana?” Tanyaku.
“Aku harus kembali.”
Dadaku terasa seperti di tusuk-tusuk. Kenapa dia harus pergi, bukankah kami baru saja bertemu.. Kak Genki mendekap tubuhku erat-erat.
“Kau jangan sedih ya, Kana. Walaupun aku tidak di sampingmu, tapi aku bisa melihatmu.” Katanya dengan lembut.
Air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku hanya menangis dan hati ini tak mau melepasnya pergi.
“Kak, aku menyukaimu.”
Kata- kata yang selama ini kua anggap tabu dan selalu kusimpan, meluncur begitu saja dari mulutku/
“Iya. Aku tahu, sayang.”
Lalu, ada cahaya putih yang hangat seperti sinar matahari muncul. Membungkus tubuh kakak. Sinarnya cukup menyilaukan.
“Kakak, mau kemana?”
Ku genggam dengan erat tangannya.
“Jaga dirimu, ya. Aku ada di bintang jika kau merindukanku.”
Setelah ia berkata begitu, sedigit demi sedigit, tubuhnya berangsur-angsur hilang di telan cahaya putih itu. Air mataky berderai mengiringi kepergiannya. Kemudian kurasakan tubuhku di sedot oleh energi kuat, seperti tadi sebelum aku bertemu dia. Aku melayang melewati kabut-kabut tipis. Dan entah bagaimana, semua menjadi gelap.
***
Semuanya kembali seperti semula. Aku mendapati diriku berada di luar lapangan. Apakah yang kualami barusan adalah mimpi. Semuanya hilang lenyap tak berbekas. Angin bertiup menderai rambut hitamku. Kembali kutangkap suara jengkerik oleh telingaku. Dan Laron-laron pun masih menumpang lewar di kepalaku.
“Huup” Kulangkahkan kaki masuk ke dalam lapangan.
Ku harap kejadian yang sama terulang, namun tak terjadi apa- apa.
Ketika menatap langit yang penuh kilauan bintang, perasaanku terasa tenang. Rasa sakit yang kurasakan selama ini hilang. Di tangan kananku, tergenggam batu bercahaya kebiruan. Seperti batu meteor. Aku terdiam di tengah kesunyian.
Malam ini, aku duduk di balkon atas. Sambil menengadah ke angkasa. Melihat kepingan bintang yang bersinar- sinar, menghiasi jubah gelap sang langit malam. Hatiku seperti di tusuk oleh pisau. Tersayat- sayat dan membuatku kehilangan kata. Saat memandang kilauan bintang, aku teringat padamu, Kak Genki. Kau yang ku anggap kakak dan menemaniku sejak kecil, kini telah pergi ke bintang.
Dulu, kau selalu mengajakku ke lapangan. Dan mengajari aku tentang nama bintang- bintang. Aku tak lupa peta langit yang kau gambarkan. Aku masih menyimpannya. Kau menceritakan padaku, kalau di luar sana, ada galaksi lain selain galaksi bima sakti. Ada kehidupan seperti kita di bumi. Pada saat itulah aku baru tahu tentang kehidupan di luar galaksi sana.
Kau tak pernah menyadari, kalau tubuhmu telah di huni leukimia. Aku masih ingat, sehari sebelum kau masuk emergency. Kau masih sempat mengantarku membeli gaun, untuk acara ulang tahun temanku. Kita masih sempat tertawa, membeli ice cream di supermarket. Dan memberi makan ikan – ikan di kolam taman. Banyak kenangan bersamamu yang tak akan terganti.
Kau indah seperti bintang- bintang di langit sana. Andai waktu itu aku bisa mengatakan persaanku padamu. Pastilah dadaku tak sesesak ini. Aku ingin sekali memutar waktu. Kembali ke beberapa waktu yang lalu. Aku menyesal tak mengatakannya. Kata ibu, malam ini adalah peringatan seratus harimu. Dan di rumahmu di sebelah, puluhan orang berdoa untukmu. Aku memang tak kesana, agar aku tak sedih. Aku berdoa di sini untukmu.
***
“Srrt..”. Seberkas cahaya muncul dari langit tenggara. Cahaya menyilaukan kebiru- biruan bercampur merah. Melesat dengan cepat. Itu seperti sebuah komet. Kalau melihat lintasan geraknya, sepertinya ia akan turun di dekat sini.
“itu..” kataku.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas meninggalkan rumah, dan berlari mengikuti arah komet tadi. Di tengah derap langkahku, aku melihat benda itu jatuh di lapangan. Ada cahaya berwarna-warni berpendar hingga ke angkasa. Pantulannya cukup kuat, sehingga menyilaukan mataku. Kupercepat langkahku dan kukerahkan seluruh tenaga/. Aku tak peduli pada dinginnya angin malam. Jantungku berdegup kencang,. Tuhan, benda apa itu tadi. Perasaan apa ini, rasanya menggedor- gedor di balik dadaku.
***
Sepi dan sunyi senyap.
Aku terpaku di pinggir lapangan. Yang tertangkap oleh mataku hanya kegelapan pekat. Suara jangkrik yang berderit membuat suasana makin dramatis. Laron yang berterbangan di lampu neon, menumpang lewat di atas kepalaku. Apa aku tadi bermimpi. Tapi jelas- jelas tadi bukankah jatuh di sini. Aku terdiam di liputi perasaan keheranan. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam lapangan. Tiba- tiba saja, seperti ada tenaga besar menyedot aku.
“Kyaaa..” aku berteriak.
Tanah tempat aku berpijak kehilangan gaya gravitasinya. Badanku melayang- layang di udara. Kemudian, muncul spektrum cahaya yang membutakan mataku. Tubuhku tertelan oleh spektrum itu. Suasana pun berubah dalam hitungan detik.
Cahaya tadi memindahkan aku ketempat yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Entah di mana ini. Kepalaku masih sakit dan terasa sangat berat. Aku masih bingung di tambah shoc dengan kejadian tadi. Mataku masih berkunang- kunang. Lalu setelah kesadarnku pulih dan moodku membaik, mataku mulai merespon di mana aku.
***
Terkesiap, terlena, dan terkejut. Tiga kata yang bisa melukiskan perasaanku. Aku saat ini, berada di tengah- tengah alam semesta.Badanku melayang-layang dengan bebas. Aku tak percaya dengan apa yang kusaksikan.
Di bawah sana terlihat kumpulan bintang- bintang yang membentuk galaksi. Bumi terlihat olehku, seperti kelereng biru yang berputar-putar. Rasi-rasi bintang seperti di peta langit, kini terlihat jelas oleh mataku. Ada milky way seperti di buku dongeng, atau yang kusebut sungai amanogawa. Kisah tentang putri Orihime yang sering kubaca. Ia terlihat membentang di mataku mmebentuk gugusan sungai bintang yang indah.
Apa aku telah mati?. Sempat terlintas di benakku pertanyaan seperti itu.
“ Bagus, kan.”. Sebuah suara mengagetkan aku.
Aku menoleh melihat si pemilik suara.
Suaraku tertahan di tenggorokan. Ia melemparkan senyum yang manis. Ia adalah Kak Genki. Kak Genki yang aku sukai. Dan kematiannya membuat aku stress. Aku gemetaran karena ketakutan. Bukankah dia sudah mati, kenapa dia ada di sini. Itu pasti hantu.
“Ka..kakak..” kataku dengan suara gemetaran.
Ia terbang mendekat kepadaku.
Aku menjauh darinya.
“Pergilah, jangan ganggu aku,!” Teriakku.
“Tenaglah. Aku tak akan menyakitimu.”
“Kau..kenapa kau kembali?”
Kak Genki tersenyum dan memegang pundakku.
“Aku kembali karena aku merasa kau memanggilku.”
Aku terdiam. Memang benar apa yang ia katakan, aku merindukannya selama ini. Ia melemparkan senyum yang membuat dadaku terasa sesak.
“Kakak..” panggilku dengan lirih.
Mataku mulai terasa panas, oleh air mata yang menggenang di pelupuknya.
“Apa aku sudah mati?”
“Belum, sayang.”
Ia menarik tanganku dan mendekap aku ke dalam pelukannya. Pecahlah tangisku seketika. Tangannya yang hangat, yang kurindukan selama ini, membelai rambutku dengan lembut. Kerinduanku padanya tertumpah.
***
“Kakak, aku rindu padamu.”
“Iya, aku sekarang kembail.”
Ia menghapus air mata di pipiku. Bola matanya yang teduh, meredam rasa sakit dan kerinduan yang aku pendam. Bibirnya yang merah menyunggingkan segurat senyum, yang mampu menghapus kepedihanku.
“Kau hantu?” Tanyaku.
“Bukan. Aku berasal dari galaksi yang berbeda denganmu.”
“Kita di mana?”
“Di dalam pesawat luar angkasa.”
Jawaban Kak Genki membuat aku menelan air ludahku.
“Kau alien?”
“Apapun itu.”
Ia menarik tanganku dan mengajakku terbang lebih tinggi. Semakin ke atas, pemandangan semakin indah. Ia menagajakku ke lintasan milky way. Aku memang suka dengan milky way saat aku masih kecil.
“Cantik, kan.”
“Iya, kak.”
Genggaman tangan kakak semakin erat. Aku tak ingin melepaskan gandengan tangannya lagi. Aku ingin terus bersamanya seperti ini.
“Ini adalah simulasi jagad raya. Tidak semua pesawat ruang angkasa memiliki sarana seperti ini.”
“Kau datang dari galaksi mana?”
“Aku sering mendengar harapanmu yang tersampai melalui sinar bintang. Makanya aku datang kemari menemuimu.”
Aku masih terdiam.
Alien yang mengaku jelmaan Kak Genki itu, mengajakku terbang melihat rasi-rasi bintang. Corona, Vega, Cassiopeia semua terlihat dekat di mataku. Dulu, aku biasanya melihat mereka dari peta langit di kamarku. Aku merasa diriku adalah kilauan bintang. Kubiarkan diriku melebur menjadi satu dengan kilauan bintang di langit itu.
“Ayo, sudah.” . Dia mengajakku turun ke bawah.
“Mau kemana?” Tanyaku.
“Aku harus kembali.”
Dadaku terasa seperti di tusuk-tusuk. Kenapa dia harus pergi, bukankah kami baru saja bertemu.. Kak Genki mendekap tubuhku erat-erat.
“Kau jangan sedih ya, Kana. Walaupun aku tidak di sampingmu, tapi aku bisa melihatmu.” Katanya dengan lembut.
Air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku hanya menangis dan hati ini tak mau melepasnya pergi.
“Kak, aku menyukaimu.”
Kata- kata yang selama ini kua anggap tabu dan selalu kusimpan, meluncur begitu saja dari mulutku/
“Iya. Aku tahu, sayang.”
Lalu, ada cahaya putih yang hangat seperti sinar matahari muncul. Membungkus tubuh kakak. Sinarnya cukup menyilaukan.
“Kakak, mau kemana?”
Ku genggam dengan erat tangannya.
“Jaga dirimu, ya. Aku ada di bintang jika kau merindukanku.”
Setelah ia berkata begitu, sedigit demi sedigit, tubuhnya berangsur-angsur hilang di telan cahaya putih itu. Air mataky berderai mengiringi kepergiannya. Kemudian kurasakan tubuhku di sedot oleh energi kuat, seperti tadi sebelum aku bertemu dia. Aku melayang melewati kabut-kabut tipis. Dan entah bagaimana, semua menjadi gelap.
***
Semuanya kembali seperti semula. Aku mendapati diriku berada di luar lapangan. Apakah yang kualami barusan adalah mimpi. Semuanya hilang lenyap tak berbekas. Angin bertiup menderai rambut hitamku. Kembali kutangkap suara jengkerik oleh telingaku. Dan Laron-laron pun masih menumpang lewar di kepalaku.
“Huup” Kulangkahkan kaki masuk ke dalam lapangan.
Ku harap kejadian yang sama terulang, namun tak terjadi apa- apa.
Ketika menatap langit yang penuh kilauan bintang, perasaanku terasa tenang. Rasa sakit yang kurasakan selama ini hilang. Di tangan kananku, tergenggam batu bercahaya kebiruan. Seperti batu meteor. Aku terdiam di tengah kesunyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar